Mencari Fakta Sejarah Tokoh Perdikan Cahyana Purbalingga: Syekh Jambu Karang, Mubaligh Pertama Tanah Jawa?

- 17 September 2022, 09:07 WIB
Wirayudha saat wawancara tentang Syekh Jambu Karang dan Perdikan Cahyana Purbalingga.
Wirayudha saat wawancara tentang Syekh Jambu Karang dan Perdikan Cahyana Purbalingga. /Laksa Tiar Makmuria.

Lensa Purbalingga - Slamet Munjalin Wirayudha atau yang karib disapa dengan Mbah Wira masih sanggup bercerita secara rinci mengenai sejarah Perdikan Cahyana Purbalingga.

Pada usianya yang menjelang 80 tahun ini, Mbah Wira bisa bercerita bibit, bebet, bobot, perihal Desa Perdikan Cahyana, Purbalingga.

Baca Juga: BMKG Hari Ini, Prakiraan Cuaca Purbalingga, Sabtu 17 September 2022, Pagi Siang Berawan, Sore Malam Hujan

Perlu diketahui Perdikan Cahyana, Purbalingga adalah salah satu desa di zaman kerajaan yang dibebaskan dari kewajiban pajak.

Status desa Perdikan Cahyana tercantum dalam beslit dari Kesultanan Demak Bintoro berangka tahun 1403 tahun Saka atau 1481 M.

Blesit yang disebut sebagai Serat Kekancingan itu ditujukan kepada Wali Perkasa oleh pihak Kesultanan Demak atas jasanya membantu mendirikan Masjid Agung Demak.

Wali Perkosa sendiri adalah keturunan ke-4 dari Syekh Jambu Karang.

Baca Juga: Terungkap! Obyek Wisata Purbalingga Bumi Sambara yang Mangkrak Dibangun dengan Dana Rp 698 Juta

Mbah Wira yang juga masih keturunan demang tanah Cahyana begitu antusias menceritakan sejarah tanah Cahyana begitu tim lensapurbalingga.com mengorek perihal tanah perdikan pada akhir awal September 2022, di kediamannya, Desa Makam, Kecamatan Rembang, Purbalingga.

“Syekh Jambu Karang itu putra pertama raja Pajajaran yang bergelar Brawijaya Mahesa Tandreman. Namanya waktu itu adalah Mundingwangi, adiknya bernama Mundingsari.” Kata Wirayudha.

Baca Juga: Warga Kutabawa Purbalingga Tagih Janji Perbaikan Jalan Rusak, Ini Tanggapan DPUPR

Mbah Wira menceritakan, setelah Raja Brawijaya Mahesa Tandreman wafat, Mundingwangi sebagai putra mahkota menggantikan kedudukan ayahnya. Tapi jabatan itu tidak disandangnya terlalu lama.

“Jadi, ketika ayahandanya meninggal, dia (Mundingwangi) diangkat menjadi ratu. Baru 8 bulan menjabat, dia undur diri karena mendapat ilham dari Pangeran.

"Dia disuruh bertapa di Gunung Karang.” Katanya sambil menyulut rokok tingwe (linting dewe) yang tersunting di jemarinya.

Baca Juga: Pertandingan Ujicoba ke 3, Persibangga Purbalingga Hanya Mampu Menahan Imbang PSIP Pemalang

Di Gunung Karang, lanjut Mbah Wira, Mundingwangi bertapa di bawah pohon jambu, dari tempat bertapanya itulah kemudian dia dijuluki Pangeran Jambu Karang.

Menurut penuturan Mbah Wira, Dia bertapa selama 8 tahun, lalu pada suatu ketika dia melihat cahaya putih berjumlah 3 buah yang memancar ke langit.

Dia melihat cahaya itu berada di Timur. Lalu diburulah cahaya itu.

“Pangeran Jambu Karang dari pertapaannya pergi menuju Muara Karawang, menaiki perahu sampai ke Comal. Sampai di sana, dia melihat cahaya ada di sebelah Barat Daya,"

"Maka dari itu dia berjalan ke arah itu, mendaki daerah Tumbangan, lalu menelusuri lereng disebalik bukit itu (nelusup), maka daerah itu kelak diberi nama Panusupan (desa Panusupan berada di Kecamatan Karangmoncol).” ujar Mbah Wira.

Baca Juga: Wali Perkasa, Orang Purbalingga yang Berperan dalam Pembangunan Masjid Agung Demak

Kemudian, sampailah Pangeran Jambu Karang di tempat sumber cahaya tersebut. Bertapalah lagi dia di sana.

Selama pertapaannya itu, dia kemudian didatangi seorang mubaligh yang bernama Syekh Atas Angin berasal dari tempat dia datang yaitu di atas garis Khatulistiwa yang datang dari Timur Tengah.

Syekh Atas Angin sampai di tempat itu juga karena memburu sumber cahaya yang dilihatnya selepas sembahyang Subuh.

Mengetahui ada seorang pertapa di tempat itu, Syekh Atas Angin beruluk salam. Lalu bertemulah dua ahli agama ini.

“Pada saat mereka bertukar kawruh (pengetahuan), Pangeran Jambu Karang mengakui keunggulan Syekh Atas Angin. Maka, masuklah dia ke agama Islam.” Ungkap Mbah Wira yang hafal di luar kepala peristiwa itu.

Baca Juga: Concert Godbless di Purwokerto dibuka dengan Lagu Alam dan Penguasa

Namun, saat diminta mengucap dua kalimat Syahadat oleh Syekh Atas Angin, Pangeran Jambu Karang enggan.

Dia hanya bersedia mengucapkan kalimat sakral itu di Gunung Lawet, Gunung yang kini masuk ke wilayah Desa Penusupan.

Dipenuhilah permintaan itu oleh Syekh Atas Angin.

“Lalu, sesudah itu Pangeran Jambu Karang memberi wasiat; ‘di tempat ini aku melafalkan Syahadat untuk masuk Islam, dan kelak saat matiku aku minta dikubur pula dengan hormat,” tambah Mbah Wira.

Baca Juga: Deklarasi Purbalingga Zero ODOL, Ini Keluhan Para Sopir Truk

Mbah Wira menjelaskan bahwa pada saat itu penyebaran Islam juga sedang berlangsung.

Pada saat Pangeran Jambu Karang menjadi mualaf bukanlah saat pertama kali Islam masuk ke tanah Jawa.

Katanya, pemahaman soal Islam masuk pada saat Pangeran Jambu Karang mengucap Syahadat itu perlu diperbaiki. Tidak baik memiliki pemahaman seperti itu.

Kembali ke kisah pertemuan dua orang mubalig, sebagai upaya menjalin persaudaraan yang lebih erat, Pangeran Jambu Karang menikahkan Syekh Atas Angin dengan putrinya yang bernama Rubiyah Bekti.

Dari pernikahan ini lahirlah lima orang anak yaitu, Mahdum Khusen, Mahdum Medem, Mahdum Umar, Rubiyah Raja, dan Rubiyah Sari.

Kemudian, Syekh Atas Angin melanjutkan perjalanannya ke Ampel Denta, menemui anak pertamanya dari hasil pernikahan dengan Ratu dari Campa.

Tak berselang lama, Pangeran Jambu Karang meninggal dunia, dan tampuk syiar agama dilanjutkan oleh cucunya, Mahdum Khusen.

“Pada tahun 1130 M Pangeran Jambu Karang wafat. Lalu syiar agama dilanjutkan oleh cucunya dari tahun 1130 M sampai 1243 M. Perlu diperhatikan, dalam sejarah kuno jawa ada istilah ‘wiwitane ing jumeneng’ dan ’akhire jumeneng’,” kata mbah Wira.

Dia mengatakan, pernyataannya ini berdasarkan sebuah kitab yang ditulis secara turun-temurun.

"Nama kitabnya Markum, ada di Leiden," kata Mbah Wira.

Baca Juga: Legenda Gunung Cahyana Purbalingga, Tempat Bertemunya Syekh Jambu Karang dan Syekh Atas Angin

Mbah Wira sendiri sempat membaca salinan kitab itu yang dia peroleh dari kakeknya.

Dia juga menjelaskan, Brawijaya Mahesa Tandreman lahir pada tahun 990 M. Ini yang dinamakan “wiwitane ing jumeneng”.

Sedangkan Pangeran Jambu Karang Meninggal pada tahun 1130 M, ini yang disebut sebagai “akhire jumeneng”.

“Nanti, jika tidak paham soal seperti ini, cerita dari satu era kerajaan ke era kerajaan lain menjadi tidak masuk akal. Majapahit saja abad 14, kan,” katanya memberi gambaran.

Mbah Wira juga sempat mengungkapkan rasa geram dan kesalnya kepada orang yang sering bertanya soal sejarah perdikan tapi orang tersebut bebal.

Padahal, untuk bisa memahami sejarah Jawa, kita juga perlu memahami laku dan kebiasaan orang Jawa.

“Cuma itu pintu masuknya. Jawa, ya, pake cara Jawa.” katanya.***

Editor: Kurniawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah